Oleh: Isnan Ansory, Lc., S.Pd.I., M.Ag
Dosen STIUDI ALHIKMAH
email: isnanansory87@gmail.com
A. QS. AL-BAQARAH AYAT 21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: 21)
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 21)
B. TAFSIR IJMALI
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ) اختلف العلماء فيمن عنى بهذا الخطاب على أربعة أقوال: أحدها: أنه عام في جميع الناس، وهو قول ابن عباس. والثاني: أنه خطاب لليهود دون غيرهم، قاله الحسن ومجاهد. والثالث: أنه خطاب للكفار من مشركي العرب وغيرهم، قاله السدي. والرابع: أنه خطاب للمنافقين واليهود، قاله مقاتل.
(Wahai Manusia) Para ulama berbeda pendapat terkait seruan ini, yang ditujukan secara spesifik kepada siapa. Di mana, terdapat 4 pendapat dalam hal ini:
- Ibnu Abbas: Seruan ini ditujukan kepada seluruh manusia, tanpa pengecualian.
- Al-Hasan dan Mujahid: Ditujukan secara khusus kepada kalangan Yahudi.
- As-Suddi: Ditujukan kepada orang-orang musyrik.
- Muqotil: Ditujukan kepada orang-orang munafiq dan Yahudi.
(اعْبُدُوا) وفي المراد بالعبادة ها هنا قولان: أحدهما: التوحيد. والثاني: الطاعة، رويا عن ابن عباس.
(Sembahlah) Maksud dari perintah beribadah dalam ayat ini terdapat dua pendapat, yang kesemuan pendapat disandarkan kepada Ibnu Abbas:
- Perintah bertauhid.
- Perintah untuk ta’at.
(رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) وفي (لعل) قولان: أحدهما: أنها بمعنى كي، أي لكي تنجوا من العذاب. وإلى هذا المعنى ذهب مقاتل وقطرب وابن كيسان. والثاني: أنها بمعنى الترجي، ومعناها: اعبدوا الله راجين للتقوى، ولأن تقوا أنفسكم- بالعبادة- عذاب ربكم. وهذا قول سيبويه. قال ابن عباس: لعلكم تتقون الشرك، وقال الضحاك: لعلكم تتقون النار. وقال مجاهد: لعلّكم تطيعون.
(Agar kamu bertaqwa), kata la’alla dalam ayat ini dipahami oleh para ulama dalam dua pendapat:
- Muqotil, Quthrub dan Ibnu Kaisan: La’alla bermakna Kay, maksudnya adalah kay tanju minal ‘adzab (agar kalian selamat dari adzab)
- Sibawaih: La’alla bermakna Tarojji, maksudnya beribadahlah kepada Allah untuk berharap (roojjin) mendapatkan ketakwaan.
Sedangkan maksud dari taqwa dalam ayat ini adalah:
- Ibnu Abbas: Agar kalian bertaqwa (terhindar) dari perbuatan syirik.
- Adh-Dhohhak: Agar kalian bertaqwa (terhindar) dari api neraka.
- Mujahid: Agar kalian menjadi orang-orang yang ta’at.
B. TAFSIR FIQIH
1. Pengertian Ibadah
Secara bahasa, ibadah berasal dari bahasa Arab al-‘ibadah (العبادة). Lafadz ini merupakan pola mashdar dari kata kerja ‘abada–ya’budu (عبد-يعبد) yang bermakna ketaatan. Imam al-Baghawi mendefinisikannya secara bahasa sebagaimana berikut:
الْعِبَادَةُ: الطَّاعَةُ مَعَ التَّذَلُّلِ وَالْخُضُوعِ
Ibadah adalah ketaatan yang didasarkan kepada penghinaan diri dan ketundukan.
Sedangkan secara istilah dalam ilmu syariah, ibadah didefinisikan dengan redaksi yang beragam. Di antaranya, seperti yang didefinisikan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah al-Harrani dalam kitabnya al-‘Ubudiyyah:
الْعِبَادَة هِيَ اسْم جَامع لكل مَا يُحِبهُ الله ويرضاه من الْأَقْوَال والأعمال الْبَاطِنَة وَالظَّاهِرَة.
Ibadah adalah setiap perkara yang dapat mendatangkan keciantaan dan keridhoan dari Allah, dari perkataan dan perbuatan; yang zhahir maupun yang batin.
Berdasarkan definisi ini, maka suatu perbuatan terhitung ibadah dalam Islam, jika didasarkan kepada tujuan untuk mendapatkan ridho Allah swt.
Meskipun, jika suatu ibadah yang diniatkan untuk selain Allah, dapat pula disebut ibadah. Namun dalam arti secara umum. Oleh sebab itu, Allah swt di dalam al-Qur’an, tetap menyebut ketaatan kepada thogut (selain Allah) sebagai ibadah.
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (المائدة: 60)
Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?”. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. al-Maidah: 60)
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ (الزمر: 17)
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku (QS. az-Zumar: 17)
2. Klasifikasi Ibadah
Dalam syariah Islam, ibadah yang merupakan ketundukan seorang hamba secara khusus kepada Allah, diklasifikasikan menjadi empat macam: (1) Berdasarkan jenis perbuatan hamba, (2) kualitasnya, (3) keberadaan ‘illah di dalamnya, (4) berdasarkan ruang lingkupnya, dan (5) berdasarkan hukum syariahnya.
a. Berdasarkan Jenis Perbuatan Hamba
Berdasarkan jenis perbuatan hamba, ibadah dibedakan menjadi empat jenis:
1) Ibadah Qolbiyyah
Maksud dari ibadah qolbiyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan oleh aktifitas hati.
Di mana ibadah ini meliputi aspek i’tiqod atau keyakinan seperti iman kepada wujud Allah swt, atau selain i’tiqod seperti cinta (mahabbah) kepada Allah swt, atau dalam bentuk tafakkur (renungan dan fikiran) seperti merenungkan penciptaan Allah swt.
2) Ibadah Qowliyyah
Maksud dari ibadah qowliyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan oleh aktifitas lisan. Seperti membaca al-Qur’an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, dan lain sebagainya.
3) Ibadah Amaliyyah
Maksud dari ibadah amaliyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan oleh aktifitas anggota tubuh. Seperti gerakan dalam shalat, melakukan puasa, haji, dan dan lain sebagainya.
4) Ibadah Maaliyyah
Maksud dari ibadah qowliyyah adalah setiap ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan mendermakan hartanya. Seperti menunaikan zakat dan bershodaqoh.
b. Berdasarkan Tingkat Kualitasnya
Berdasarkan kualitasnya, ibadah dibedakan menjadi tiga jenis:
1) Asy-Sya’a’ir al-Kubro
Maksud dari ibadah yang termasuk asy-sya’a’ir al-kubro adalah ibadah-ibadah yang menjadi arkan atau pondasi dalam agama seorang hamba. Ibadah inilah yang dimaksud dalam hadits berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالْحَجِّ»
Dari Ibnu Umar, Nabi saw bersabda: Islam dibangun atas lima pondasi: mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji. (HR. Muslim)
2) Asy-Sya’a’ir ash-Shughro
Adapun maksud dari ibadah yang termasuk asy-sya’a’ir ash-shughro adalah selain ibadah-ibadah yang dikatagorikan sebagai pondasi Islam. seperti zikir, doa, tilawah al-Qur’an, shodaqoh, dan lain sebagainya.
3) Mulhaqot
Maksud dari ibadah yang dikatagorikan mulhaqot adalah setiap ibadah yang hakikatnya bukan ibadah. Yaitu berupa perkataan atau perbuatan yang dilakukan hamba dalam kehidupan duniawinya, serta dihukumi sebagai perkara yang mubah. Seperti makan, minum, dan tidur.
Namun karena adanya niat di dalam perbuatan tersebut yang diniatkan sebagai wasilah atau sarana untuk melakukan ibadah, maka perbuatan mubah tersebut terhitung sebagai ibadah yang bernilai pahala. Seperti tidur yang diniatkan untuk merehatkan badan, dalam rangka untuk dapat melakukan ibadah selepas bangun dari tidur.
c. Berdasarkan Keberadaan ‘Illah
Maksud dari ‘illah adalah suatu sifat yang berwujud pada suatu ibadah yang menjadi alasan disyariatkannya ibadah tersebut. Apakah ‘illah itu dapat diketahui secara langsung dan eksplisit melalui teks yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah, ataukah melalui proses penalaran dan ijtihad.
Berdasarkan hal ini, maka ibadah dibedakan menjadi dua jenis:
1) Ibadah Ghoiru Ma’qulatil Ma’na
Maksud dari ibadah ghoiru ma’qulatil ma’na adalah setiap ibadah yang tidak diketahui secara pasti tujuan pensyariatannya. Di mana, seorang hamba dituntut untuk melaksanakannya, semata-mata dalam rangka penghambaan yang mutlak kepada Allah swt. Jenis ibadah ini seperti jumlah raka’at shalat lima waktu, kewajiban melaksanakan shalat 5 waktu dalam sehari semalam, kewajiban beribadah puasa di bulan Ramadhan, nilai nishob emas 20 dinar, dan lain sebagainya.
2) Ibadah Ma’qulatul Ma’na
Sedangkan maksud dari ibadah ghoiru ma’qulatil ma’na adalah setiap ibadah yang dapat diketahui alasan pensyariatannya. Dan berdasarkan keberadaan ‘illah inilah, ibadah jenis ini dapat dikembangkan menyesuaikan kemashlahatan yang didapat dalam konteks waktu dan tempat yang berbeda.
Contoh jenis ibadah ini seperti syariat istijmar menggunakan batu, yang dapat dikembangkan menggunakan alat-alat yang memiliki sifat yang sama dengan batu.
d. Berdasarkan Ruang Lingkupnya
Berdasarkan ruang lingkupnya, ibadah dibedakan menjadi dua jenis:
1) Ibadah Muqoyyadah
Maksud dari ibadah muqoyyadah adalah setiap ibadah yang telah dibatasi oleh syariah ketentuan-ketentuannya. Seperti waktu, tata cara, sebab, dan lainnya.
Contoh dari ibadah jenis ini seperti tata cara shalat yang terdiri dari qiyam, rukuk, duduk, dan sujud. Ataupun waktu-waktu shalat wajib dan jumlah raka’atnya.
Di mana ibadah muqoyyadah ini, wajib dilaksanakan oleh hamba berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh syariah. Sedangkan, merubah, menambah, atau mengurangi ketentuannya tanpa adanya dalil yang mendasarinya, termasuk dalam perkara bid’ah yang tercela.
2) Ibadah Muthlaqoh
Adapun maksud dari ibadah muthlaqoh adalah setiap ibadah yang tidak dibatasi oleh syariah ketentuan-ketentuannya. Seperti shalat muthlaq, puasa muthlaq, zikir, amar ma’ruf nahi mungkar, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan ibadah muqoyyadah, maka ketentuan ibadah muthlaqoh bersifat lentur dan fleksibel. Artinya, seorang hamba bebas untuk melakukan ibadah tersebut, selama pada batas-batas yang dibolehkan oleh syariat.
Seperti melakukan shalat muthlaq, yang bisa dilakukan pada waktu dan moment apapun. Selama waktu dan moment tersebut tidak termasuk dalam pelanggaran syariat. Di mana jika terjadi pelanggaran seperti shalat muthlaq setelah shalat ashar hingga terbenamnya matahari atau setelah shalat shubuh hingga terbitnya matahari, yang merupakan waktu terlarang untuk shalat, maka ibadah muthlaq tersebut termasuk bid’ah yang terlarang atas dasar adanya unsur pelanggaran atas syariat.
e. Pembagian Ibadah Berdasarkan Hukum Syariah
Mayoritas ulama membagi hukum-hukum syariah menjadi lima. Di mana, yang dimaksud dengan hukum syariah adalah hukum-hukum atas perbuatan manusia yang mengandung konsekwensi pahala dan dosa yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hari hisab (pembalasan).
Kelima hukum tersebut adalah wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
Dalam hal ibadah sebagai bagian dari apa yang dilakukan oleh manusia, maka setiap ibadah tersebut akan terkait pula dengan lima hukum syariah.
Namun jika yang dimaksud ibadah di sini adalah ibadah yang dipahami secara syari’i, maka hukum atas ibadah semata antara wajib dan sunnah. (bersambung)