Oleh : Ahmad Falhan
Salah satu makna dari khalifah (خليلفة) adalah penerus atau pengganti, terambil dari suku kata خلف – يخلف yang bermakna menggantikan atau meneruskan. Tentunya penerus atau pengganti harus lebih baik dari yang terdahulu, walaupun mustahil akan ada penerus kalau tidak ada yang memulai. Apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulu harus dipertahankan dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Semua manusia sejatinya harus mempersiapkan apa yang akan dipersembahkan di dalam hidupnya. Seorang Sufi misalnya, harus dapat berzikir sebanyak-banyaknya sebagai kerja besarnya semasa di dunia.
Begitu pula dengan scientist, mereka dapat menyumbangkan penemuan-penemuan yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Karya-karya besar tidak begitu saja lahir tanpa rintangan dan tantangan. Belum lagi kebutuhan hidup yang mendesak, sehingga orang semisal Kahlil Gibran (1883-1931 M) harus pontang panting mencari nafkah demi untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Karya-karyanya baru dapat terpublikasikan setelah kematiannya. Dunia sastra tentu masih mengingat sekelompok sastrawan yang hijrah dari Lebanon menuju benua Amerika (أدباءالمهجر), diantaranya adalah Kahlil Gibran, Mikhail Nuaimah (1889-1988 M), Iliya Abu Madhi (1891-1957 M), Rasyid Ayub (1871-1941 M). Dalam pengembaraan mereka di tanah Columbus, mereka telah banyak menghasilkan karya-karya yang hidup sampai saat ini, dan masih menjadi bacaan dan kajian masyarakat penikmat sastra dari kalangan pelajar maupun masyarakat umum.
Karya besar lahir dari orang yang berjiwa besar, menempa dirinya di atas samudera lautan atau di padang sahara, tidak takut dinginnya malam, ataupun terik panasnya siang. Sehingga karyanya menjadi adiluhung, kuat dan perkasa melampaui berbagai musim dan zaman. Biasanya karya-karya seperti itu lahir dari rahim revolusi sosial masyarakat maupun politik. Sebut saja misalnya Les Miserables yang ditulis oleh Victor Hugo (1802-1885 M), salah satu karya terbesar di abad sembilan belas. karya ini menceritakan kehidupan masyarakat kelas bawah dua dekade setelah revolusi Perancis, yang mana hukum masih sangat tidak berpihak kepada masyarakat lemah. Lantaran mencuri sepotong roti karena kelaparan di atas kapal kerja paksa, harus menerima hukuman sembilan belas tahun penjara.
Ide dan inspirasi brilian juga mengalir dari nuansa-nuansa rohani keagamaan. Seorang sastrawan besar di abad pertengahan Abul Ala’ al Ma’arri, melalui kontemplasinya terhadap peristiwa isra dan mi’raj, dapat menulis karya monumentalnya Risalatul Ghufran yang menceritakan tentang perjalanan seorang hamba menyusuri surga dan neraka, berdialog dengan para penyair dan menanyakan sebab mereka dimasukkan kedalam surga dan neraka. Melalui perenungan yang dalam dan sunyi, manusia dapat menggali semua potensinya yang telah Allah SWT ciptakan untuk setiap manusia, hanya sahaja manusia terkadang terbelenggu oleh hiruk pikuknya dunia yang sebenarnya bukan kecenderungan dirinya. Ketika seseorang sudah menemukan titik kekuatan yang ada dalam dirinya, maka daya getaranya pun akan dapat mengguncangkan mayapada. Demikian pula yang dilakukan oleh Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali, melalui khalwat beliau di atas menara masjid Damaskus telah meninggalkan kepada kita karya-karya monumental, seperti Ihya ulumuddin yang tak lekang dimakan zaman, bahkan institusi tertua di dunia semisal al-Azhar Mesir masih menjadikannya bahan ajar di bangku perkuliahan.
Akhirnya, sederet karya-karya besar masa lalu bukan hanya menjadi bahan kita untuk bernostalgia. Mungkin jika kita belum dapat menyamai mereka, paling tidak kita dapat mengambil spirit mereka untuk menerjemahkan alam pikiran masa kini dengan model karya terbaik, tanpa harus banyak memikirkan bagaimana karya tersebut menempuh jalannya. Biarkan saja ia menerima nasib dan takdirnya masing-masing, mungkin ada yang berumur pendek atau ada pula yang berumur panjang, melampaui berbagai macam generasi dan zaman.
Wallahu a’lam bishawab.