KAMPUS SWASTA ISLAM DAN TANTANGAN DISRUPSI

Oleh: Fauzan Sugiyono, Lc., M.Ag

Kata “disrupsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal yang tercerabut dari akar. Maknanya, ada hal-hal pokok yang mengalami perubahan secara cepat dan masif tanpa diduga. Seperti beralihnya keasyikan aktifitas orang dari dunia nyata ke dunia maya, kehadiran internet menjadikan orang betah berjam-jam tanpa peduli sekelilingnya. Tak ayal lagi, pemandangan yang jamak terlihat di tempat-tempat umum orang seperti robot dengan gadget di tangannya, dulu koran. Efek pandemi Covid-19 menambah intensnya interaksi manusia dengan dunia maya. Inovasi Zoom Meeting di satu sisi menjadi solusi agar pendidikan tetap berjalan dalam kondisi tatap muka yang tak memungkinkan, di sisi lain menjadikan hilangnya interaksi antara mahasiswa dan dosen, karena tak sedikit mahasiswa yang Off Camera saat dosen mengajar via Zoom Meeting, bukan hanya slow respon bahkan no respon sama sekali, alasannya gangguan sinyal.

Data Melimpah, Minat Baca Rendah

Ketersediaan internet berbanding lurus dengan keberlimpahan data, kita tinggal menyalakan laptop lalu klik search lalu unduh, otomatis sumber-sumber yang kita inginkan akan ter-save, terserah mau berapa gigabyte. Tentu jika kaitannya dengan dunia kampus ada artikel, buku-buku atau jurnal-jurnal baik nasional atau internasional. Namun yang terjadi sebaliknya, alih-alih membaca dan menyaring, malah semakin banyak plagiarisme. Minat baca dan integritas rendah seolah menjadi saudara kembar, akhirnya budaya copy paste tanpa analisa matang menjadi andalan. Kegemaran generasi sekarang yang dikenal dengan gen-Z adalah bermedsos, wajar saja karena generasi ini terlahir saat media sosial sudah bertaburan. Oleh karena itu, menurut rilis dari Teknologi.bisnis.com, tiga media sosial yang paling digemari gen-Z adalah Instagram (71 %) disusul oleh Snapchat (65 %) dan Tiktok (48 %). 

Transisi Online ke Offline

Seperti ada jarak yang membatasi, saat peralihan perkuliahan dari online ke tatap muka. Hal ini dirasakan oleh mahasiswa yang memang sejak semester awal sudah online. Mereka masuk offline terkesan canggung, kaku dan kebingungan, seolah tidak tahu apa yang akan dilakukan. Kadang ada mahasiswa yang aktif saat kuliah online, tiba-tiba menjadi pasif saat kuliah offline, ada juga sebaliknya. Untuk mata kuliah yang memerlukan kemampuan Bahasa Arab, yang paling jelas terlihat adalah kemampuan lisan dan tulisan. Mungkin mereka biasa menulis di laptop, sehingga ketika menulis di kertas, yang bisa membaca tulisannya hanya dirinya sendiri. Menghadapi kondisi ini tentu mahasiswa harus cepat belajar dan belajar cepat dalam menghadapi perubahan perkuliahan, segera perbaiki kekurangan dan kejar ketertinggalan.

Digitalisasi Kampus

Ada perbedaan signifikan antara Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dengan kampus Islam swasta, dari sisi kebijakan, SDM, sarana dan prasarana. Tentu dengan kebijakan digitalisasi kampus yang dicanangkan oleh Kemendikbud Ristek bagi kampus negeri bukan suatu hambatan yang berarti dengan terpenuhinya sarana prasarananya. Namun menjadi tantangan besar bagi kampus-kampus Islam swasta, yang tak jarang sarana gedung saja belum memadai, apalagi sambungan internet. Dari segi SDM, kampus Islam Negeri memiliki sumber daya manusia yang melimpah, karena mayoritas dosen-dosennya hasil dari seleksi ketat rutin, tes Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jenjang karir dan kepangkatan hierarki yang menarik. 

Berbeda dengan kampus Islam swasta, dosen-dosen yang mengajar lebih mengedepankan amal shalih dibanding karir. Inilah yang sebenarnya menjadi “nilai jual” kampus tersebut. karena amal shalih yang dilakukan karena Allah, akan membuahkan keberkahan dari jalan yang tak disangka-sangka (min haitsu la yahtasib). Namun, alangkah indahnya jika niat yang baik ini, disempurnakan dengan terus meningkat kemampuan dan profesionalisme dalam perkuliahan. “Berubah atau Punah” begitu kata pepatah. (fzn)