Catatan Bercermin III (Antara Keikhlasan dan Kesadaran)

Oleh : Ahmad Falhan

Setiap kali pulang ke asrama pelajar  Madinatul bu’uts al-Islamiyah di kota Kairo Mesir, kalau datang dari Madinatu Nashr, biasanya melalui jalan raya satu arah yang diapit oleh kawasan pekuburan luas, namun di atasnya terdapat perkampungan masyarakat, kemudian jalan itu terbelah dua oleh bangunan berkubah yang bernuansa klasik. Menurut beberapa ahli sejarah yang pernah diceritakan oleh almarhum guru besar ilmu filsafat di al-Azhar Prof. Dr. Abdul Mu’thi bayyumi, bahwa di dalam bangunan tersebut terdapat pusara cucu Ibnu Malik , pengarang seribu bait kaedah-kaedah ilmu Nahwu (gramatikal Bahasa Arab) yang sangat terkenal dengan sebutan alfiyatu Ibnu Malik.

Pertanyaan saya terjawab, kenapa orang-orang Mesir tidak menggusur tempat tersebut. Tentu karena mereka sangat menghormati para ulama walaupun mereka sudah wafat.  Apalagi terhadap ulama-ulama kita yang masih hidup, seharusnya kita dapat menghormati mereka dengan sebaik-baiknya, dan mewarisi kesalehan dan ilmu agama yang mereka miliki, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para pendahulu-pendahulu kita. Sebut saja misalnya dalam ranah ilmu al-Quran dan tafsir, Ibnu Abbas Ra telah mengajar dan mewariskan ilmu beliau kepada murid-murid beliau di Mekah, diantaranya adalah Said ibn Jubair (w. 95 H ), Mujahid ( 21 H-104 H), Ikrimah (w.104 H), Thawus bin Kaisan al-Yamani (w.106 H), Atha’ ibn Abi Rabah (27 H-114 H). Di kota madinah Ubay ibn Ka’b Ra juga telah membentuk generasi yang mewarisi keilmuan beliau dalam bidang al-Quran dan Tafsir, diantara murid-murid beliau adalah Abul Aliyah (W.90 H), Muhammad bin Ka’b al-Qarzi (w. 118 H) dan Zaid bi Aslam (w.136 H) (semuanya dari golongan Tabiin) . Sementara di Iraq Abdullah bin Mas’ud memiliki murid-murid yang terkenal dari golongan Tabiin, diantaranya adalah,’Alqamah bin Qais ( w. 61 H), Masruq (w63 H ), al-Aswad bin Yazid ( w. 75 H), Murrah al-Hamadani ( w. 76 H), ‘Amir al-Syu’bi ( 20-109 H), al-Hasan al-Bashri (w. 110 H ) dan Qatadah ( w. 117 H ).

Menghormati para ulama bukan hanya diwujudkan dengan mencium tangan atau membawakan sandal mereka. Akan tetapi, juga diwujudkan dengan kesungguhan kita dalam menyerap pelajaran dan ilmu yang mereka ajarkan. Bersungguh-sungguh dengan diiringi niat yang ikhlas akan memudahkan semua langkah kita. keikhlasan yang muncul dari seorang guru dan murid akan melahirkan gelombang yang positif, memudahkan cahaya ilmu merasuk ke dalam dada dan jiwa kita. Tidak heran jika di abad-abad pertengahan dahulu lahir para Ulama yang memiliki karya-karya monumental yang masih dibaca dan dipelajari sampai detik ini, misalnya saja kitab  Riyadhus Shalihin karya al-Imam al-Nawawi al-Dimasyqi ( 631-674 H ). Hampir di setiap masjid dan mushala di pelajari kitab ini.

Penulis masih teringat suatu ketika di Mesir, menyaksikan seorang guru besar di al-Azhar yang ikut bergelantungan di dalam bis yang sangat penuh dan sesak. Dengan ikhlas beliau pergi ke kampus untuk memberikan kuliah atau ceramah beliau yang tentu sudah dinanti oleh para mahasiswa. Kesederhanaan yang mungkin jarang kita saksikan di tempat-tempat lain. Kehidupan seorang guru besar yang tidak dicukupi dengan fasilitas, namun tetap gigih dan bersemangat. Apalagi kalau bukan keikhlasan yang mendorong perjuangan yang semacam itu. Bahkan penulis sampai menitikkan air mata ketika mengambil jatah beasiswa bersamaan dengan seorang dosen, yang gajinya tidak seberapa besarnya. Kebetulan waktu itu duduk berdekatan, sementara petugas bagian keuangan mulai menghitung gaji sang dosen dengan penuh ketelitian. Akupun bergumam dalam hati, semua yang ada di tangannya, jika diberikan kepada sang guru besar tidaklah memenuhi jerih payahnya. Ini bukan kaliber orang sembarangan, tapi seorang guru besar dan pakar dalam bidangnya. Hal yang menarik juga yang dapat kita ambil nilai pelajarannya, yaitu para ulama di Mesir, kalau kita undang mereka untuk mengisi seminar ataupun pengajian, mereka hanya minta difasilitasi antar jemput saja. Tidak meminta hal-hal yang lain.

 Nuansa ruhaniah dan keikhlasan ini bergerak kuat dan cepat sehingga memantulkan energi yang positif kepada para murid, santri ataupun mahasiswa untuk mewarisi kesalehan para ulama-ulama kita dahulu yang masih banyak dipertahankan oleh universitas al-Azhar Mesir. Kesalehan yang telah memperkokoh hubungan batin seorang guru dan murid, menyambung mata rantai ilmu yang sampai kepada zaman kita ini. Maka dari itulah seorang al-Imam Ahmad bin Hambal selalu mendoakan guru beliau al-Imam al-Syafii di dalam sujud-sujud beliau

اللهم اغفر لي ولوالدي ولمحمد بن إدريس الشافعي  

Ya Allah ampunkanlah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan juga dosa Muhammad bin Idris al-Syafii

Keberkahan dalam perjalanan panjang keilmuan Islam harus terus dipertahankan, dengan cara tidak menjadikan materi tujuan utama kita dalam menuntut ilmu. Belajar bukan untuk menjadi apa dan siapa, tapi untuk bagaimana mengamalkannya dan mewariskannya kepada anak cucu kita di masa yang akan datang. Menjadi guru atau murid yang baik merupakan perbuatan mulia dan terpuji, yang akan menjadi benteng terdepan dalam lajunya peradaban. Kalau bukan kita siapa lagi. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda ; 

اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 

Wallahu a’lam bisshawab.