Catatan Bercermin 4 (Kejujuran dan Kesederhanaan)

Oleh : Ahmad Falhan

Suatu ketika di masa ujian semester di Universitas al-Azhar Kairo Mesir para mahasiswa begitu tekun menjawab soal-soal ujian, suasana begitu tenang dan kondusif, namun ada pula mahasiswa yang memesan minuman teh atau hulbah (sejenis minuman herbal),  sekedar untuk menghilangkan rasa tegang atau rasa penat di saat menjawab soal-soal ujian yang cukup sulit. 

Rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan soal-soal ujian di al-Azhar adalah soal-soal yang sangat sulit dan rumit. Mahasiswa harus betul-betul menguasai dan menghafal isi dari buku-buku diktat kuliah yang sangat tebal, sementara nilainya pun murni dan tidak direkayasa.

Belum lagi kendala bahasa atau tulisan yang betul-betul harus dapat dibaca dan difahami oleh dosen pengampu mata pelajaran kuliah. Pokoknya mahasiswa harus berusaha keras agar dapat lulus ujian. Tidak disangka dan diduga dalam kondisi yang  begitu serius ada pula oknum mahasiswa yang melakukan kecurangan. Lebih uniknya lagi mahasiswa tersebut menggunakan imamah atau sorban yang dililit bertingkat-tingkat dan sangat rapi. Tingkat kerumitannya mungkin setara dengan soal-soal ujian tersebut, bagi orang yang tidak terbiasa memakainya. Beberapa contekan dalam kertas kecil disimpan di dalam lipatan yang yang bertingkat-tingkat tersebut.

Mungkin tidak ada yang akan menduga bahwa orang dengan pakaian begitu agamis dapat melakukan kecurangan. Mestinya mahasiswa tersebut harus dapat memberikan contoh yang positif, bukan malah memberikan preseden yang buruk. Rupanya penampilan tidak selamanya berbanding lurus dengan realita. Penampilan terkadang membohongi kenyataan. Bahkan ada pula sebaliknya, orang yang berpenampilan  biasa-biasa saja namun menyimpan keistimewaan yang tidak diketahui oleh banyak manusia.

Pernah suatu ketika seorang ulama besar dari Nusantara yang kala itu termasuk dari bagian kekuasaan Hindia Belanda, al-Allamah al-Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani dengan sikap yang sangat tawadhu’ datang ke Cairo Mesir, lalu singgah di universitas al-Azhar. Orang-orang tidak menyangka kalau beliau adalah ulama besar yang sering didengar itu. Bahkan penampilannya kalah dengan asisten nya yang membawa lembaran-lembaran tulisan karya tafsir beliau yang akan  dicetak di salah satu percetakan di negeri Kinanah tersebut.

Kisah ini Mengingatkan kita pula kepada seorang sastrawan besar di masa dinasti Abbasiah al-Jahiz, yang menulis karya monumental al-Bukhala’, al-Bayan wa al-Tabyin dan juga kitabul hayawan. Disebutkan di dalam kitab al-Bukhala’, bahwa beliau pernah diundang oleh al-Makmun (khalifah Abbasiyah) ke istana beliau untuk menjadi pendidik dan guru bagi anak-anak nya, akan tetapi di saat mereka melihat  al-Jahiz mereka lari terbirit-birit  ketakutan, karena wajah beliau yang sangat buruk dengan mata yang mencekung. Barulah setelah dijelaskan oleh sang khalifah,  mereka mulai mau bertegur sapa dengan calon guru mereka al-Jahiz.

Bahkan yang lebih miris lagi, suatu ketika al-Jahiz pergi ke pasar di tengah kota Bashrah, ada seorang wanita yang mendekatinya lalu memintanya untuk menemaninya beberapa saat, berkeliling di dalam pasar lalu berhenti di tempat pembuatan cincin. Wanita itu seraya  berkata kepada sang empu cincin, bahwa dia telah membawa contoh yang diminta. Perempuan ini rupanya sejak tadi mencari contoh bentuk mata cincin yang berbentuk wajah jin ifrit. Setelah mengetahui hal tersebut, betapa remuk redam hati sastrawan ini. Namun perlu diingat,  bahwa di balik wajah beliau yang buruk rupa tersimpan rahasia Ilahi yang melampaui manusia pada zamannya.

Jauh sebelum era al-Jahiz sejarah pun telah membuktikan bahwa sayyidina Umar bin Khattab selalu berpenampilan super sederhana dalam kehidupan beliau, sampai-sampai utusan imperium Romawi terkejut ketika menyaksikan amirul Mukminin yang sedang berbaring di atas tanah memakai baju layaknya rakyat jelata. Karena utusan ini menduga Umar ra pastilah memakai pakaian mentereng dan berada di atas singgasananya.

Melihat segala sesuatu jangan hanya dari zahir atau kulitnya, bisa jadi isi dalamnya jauh lebih baik dari permukaannya. Sama halnya dengan seorang mukmin ketika merasakan manisnya keimanan. Barulah dia mengetahui kelezatan yang belum ia rasakan sebelumnya, setelah berlelah lelah mencapainya. Bahkan seorang hamba dapat lupa akan kenikmatan dunia yang sementara ini, ketika ia tenggelam dalam kecintaannya kepada Allah SWT dan Rasulnya, sebagaimana hadits Rasulullah SAW,

 عن أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ)). (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم )

Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhari Muslim dengan redaksi Muslim).

Wallahu a’lam