Catatan Bercermin 6 ( Menerima Takdir)

Di dalam kitab al- Hikam, Ibnu Atha’illah as-Sakandari (1250-1309 M) menyebutkan kalimat mutiara yang sangat dalam artinya, beliau mengatakan,

     المنع عين العطاء 

Artinya: Tidak memberi itu pada hakekatnya adalah anugerah dan pemberian

Ketika Allah SWT tidak memperkenankan kita untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, bisa jadi itu adalah nikmat dan anugrah terbesar yang hendak Allah SWT berikan kepada kita. Namun terkadang manusia kurang dapat menangkap sinyal-sinyal itu, kecuali setelah tampak jelas di depan matanya kebaikan yang hendak Allah berikan dari pelarangan tersebut. Padahal jika manusia mau melihat dengan kerendahan hatinya, akan penuhlah di dalam jiwa dan batinnya rasa syukur yang tidak terhingga.

Di dalam kehidupan kita, sering timbul rasa kecewa akibat kegagalan untuk mencapai sebuah harapan, karena kita tidak tahu hal terbaik apa yang sedang Allah persiapkan untuk kita dapatkan. Maka, tidak sepatutnya kita banyak mengeluh seperti yang dilakukan oleh Kaum Bani Israil. Mereka selalu saja melakukan tawar menawar dalam melakukan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan nya. Bahkan mereka berani menentang perintah Allah dan rasulnya ketika Nabi Musa mengajak mereka untuk memasuki Negeri Palestina, sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran surat al-Maidah ayat: 24,

قَالُواْ يَٰمُوسَىٰٓ إِنَّا لَن نَّدۡخُلَهَآ أَبَدٗا مَّا دَامُواْ فِيهَا فَٱذۡهَبۡ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَٰتِلَآ إِنَّا هَٰهُنَا قَٰعِدُونَ 

Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”.

Sikap orang-orang Bani Israil yang sering kali melanggar, berbanding terbalik dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka selalu ridha dengan keputusan Allah SWT dan rasulnya, ikhlas dalam menjalaninya, tanpa sedikitpun berburuk sangka kepada keputusan Allah SWT, sebagaimana di dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit, bahwa rasulullah pernah ditanya tentang amal ibadah yang paling baik dan mudah untuk dilakukan, maka rasulullah SAW menjawab, 

لا تتهم الله فيما قضى الله لك به

Janganlah kamu berburuk sangka terhadap apa yang telah Allah SWT tetapkan untukmu

Semua manusia telah Allah tetapkan garis kehidupanya. Tidak usah gusar terhadap prahara kehidupan, karena semuanya itu adalah kebaikan bagi seorang mukmin, jika ia dapat melaluinya dengan penuh keikhlasan. Tidaklah Allah ciptakan kesusahan kecuali Allah ciptakan pula kemudahan. Tetaplah berpikir optimis terhadap takdir Allah, walaupun mudah untuk diucapkan namun susah untuk dilaksanakan.

Seperti halnya cerita seseorang yang ditinggalkan oleh pesawat yang hendak ia tumpangi karena keterlambatannya datang ke bandara, disebabkan oleh lalu lintas yang sangat padat. Si Fulan itu akhirnya terjebak dalam kemacetan, sementara pesawat sudah mau lepas landas. Akhirnya ia tertinggal dan merasa kesal terhadap apa yang terjadi, sambil memaki-maki dirinya yang terlambat itu. Setelah beberapa saat lepas landas pesawat dikabarkan mengalami kecelakaan. Penumpang yang tidak jadi berangkat tersebut baru mengetahui kenapa Allah tidak memperkenankannya menjadi salah satu penumpang di dalam pesawat tersebut. Seraya ia berucap syukur sedalam-dalamnya kepada Allah SWT yang masih memberinya kesempatan untuk bertaubat kepadaNya.

Sikap manusia terkadang menjadi aneh, ketika mendapatkan kenikmatan, ia berpaling dari Allah SWT, dan ketika mendapatkan sedikit musibah selalu lemah dan berputus asa. Mengingatkan penulis ketika sedang melaksanakan haji di tahun 2002 silam. Adalah seorang diplomat yang juga sedang melaksanakan ibadah haji, kebetulan satu tenda bersama penulis. Pada saat itu semua jamaah haji mulai berangkat ke Arafah satu hari sebelum wukuf. Maka kami pun menginap di sana. Pada malam harinya sang diplomat mengeluhkan nyamuk yang cukup banyak di dalam tenda, bahkan beliau berkata kepada kami (para mahasiswa) bahwa ia tidak akan datang lagi ke tempat ini. Perkataan yang sangat tidak layak sekali keluar dari mulutnya, lantaran hanya karena diuji oleh Allah SWT dengan nyamuk. Tidaklah Allah SWT menguji kesabaran manusia kecuali ada pelajaran dan hikmah di balik peristiwa tersebut. Sangat disayangkan jika pelajaran yang terkandung di dalamnya luput dari pandangan kita.

Tetap ridha terhadap takdir Allah SWT adalah jawaban yang paling tepat bagi seorang mukmin, bahkan seorang ulama sekaliber al-Imam Waki’ bin al-Jarah (745-812 M), gurunya al-Imam al-Syafi’i yang sangat terkenal itu pernah diuji dengan fitnah yang sangat aneh. Yaitu ketika beliau sedang berhaji ke Mekkah, banyak penduduk Mekkah yang datang mendengarkan fatwa-fatwa dan riwayat hadits dari beliau, namun ketika beliau meriwayatkan sebuah Hadits Munqathi’ tentang keadaan perut Nabi yang agak membesar setelah beliau wafat, mungkin efek dari penyakit yang beliau derita. Orang-orang Quraisy Mekkah langsung tersulut emosi, menangkap dan menghalalkan darah beliau. Akan tetapi al- Imam Sufyan ibn ‘Uyainah (725-814 M) berpendapat lain, bahwa tidak ada hukuman mati bagi orang yang telah mendengarkan hadits, kemudian meriwayatkannya. al-Utsmani, Gubernur Mekkah  pada saat itu membiarkan beliau pergi ke Madinah. Sebelum memasuki Madinah beliau mengubah perjalanan  ke Irak,  karena banyak orang yang akan mencelakakan beliau. Selama beberapa tahun beliau tidak bisa melaksanakan haji, kecuali di tahun 197 H, beliau menunaikan ibadah haji, dan sekembalinya dari tanah suci, beliau wafat di perjalanan antara Mekkah dan Kufah. Allah SWT selalu menguji hambanya dan kekasihnya, namun perlu kita ingat bahwa bukan hasil yang selalu diminta, akan tetapi sejauh mana kita mampu dapat bertahan dalam ujian dan cobaan tersebut. 

Wallahu a’lam