Urgensi Mempelajari Ilmu Waris

Oleh: Muhammad Abdul Wahab, Lc., M.H.

1.   Ilmu yang Dijelaskan Langsung dalam Al-Quran

Salah satu keistimewaan ilmu waris adalah al-quran menjelaskan aturan pembagian waris ini secara langsung dalam al-Quran. Biasanya untuk aturan-aturan agama yang lain Allah SWT tidak menjelaskan secara detail dalam al-Quran, Rasulullah ﷺ lah yang kemudian menjelaskannya secara lebih rinci dalam sunnahnya.

Seperti kewajiban shalat lima waktu, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci terkait tata cara shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Nabi-lah yang kemudian diberi tugas untuk menjelaskannya lebih lanjut dalam sunnahnya baik secara lisan (sunnah qauliyyah) mau pun mencontohkan dengan praktik (sunnah fi’liyyah).

Begitu pun aturan-aturan yang lain seperti aturan terkait puasa, haji, zakat dan sebagainya Al-Quran hanya memuat perintahnya saja dan sedikit ketentuan yang berkaitan. Selebihnya penjelasan lebih rinci terkait aturan-aturan tersebut menjadi tugas Rasulullah ﷺ.

Dalam Al-Quran Allah SWT telah menetapkan ketentuan tentang pembagian waris dalam tiga ayat yaitu surah an-Nisa ayat 11, 12 dan 176. Di dalamnya telah ditetapkan siapa saja yang berhak menerima warisan dari almarhum dan berapa bagian masing-masing secara tegas dan lugas dan  tidak membuka ruang terjadinya multi-tafsir.

Oleh karenanya landasan hukum waris bersifat qath’iy (mutlak, pasti, tidak memungkinkan penafsiran ganda) baik dari segi tsubut (validitas)-nya karena ayat Al-Quran semuanya pasti sahih dan mutawatir berbeda dengan hadits Nabi yang level kesahihannya beragam. Atau pun dari sisi dilalah (penunjukan lafal terhadap makna) sebab Allah ﷺ menjelaskan pembagian waris dengan menyebut angka yang maknanya jelas dan tidak bisa dipahami di luar dari apa yang disebutkan.

Menegaskan hal ini, Rasulullah ﷺ menyatakan dalam haditsnya bahwa Allah-lah yang secara langsung membagi dan memberikan hak masing-masing ahli waris, bukan berdasarkan keputusan Rasulullah SAW. Nabi bersabda:

إن اللّه قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث

“Sesungguhnya Allah telah memberikan pada setiap ahli waris haknya, maka tidak ada lagi wasiat untuk ahli waris.” (H.R. Ahmad, Ashab as-Sunan dan an-Nasai).

2.   Menjalankan Perintah Rasulullah

Pembagian waris sesuai hukum Allah adalah salah satu kewajiban agama di mana bukan hanya melaksanakannya yang diperintahkan tetapi juga mempelajarinya. Ini yang menjadikannya spesial dari kewajiban yang lain seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya di mana tidak ada perintah khusus untuk mempelajarinya.

Bahkan bukan hanya belajarnya yang diperintahkan tetapi juga mengajarkannya. Sehingga terkait ilmu waris ini ada tiga hal yang diperintahkan: pertama, menerapkannya; kedua, mempelajarinya; dan ketiga, mengajarkannya.

Rasulullah SAW. bersabda:

‌تَعَلَّمُوا ‌الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي

“Pelajarilah kalian ilmu faraidh dan ajarkanlah sebab ia merupakan setengahnya ilmu, dan ia akan dilupakan dan akan menjadi hal yang pertama kali dicabut dari umatku.” (H.R. Hakim dan al-Baihaqi)

Meskipun para ulama memandang hukum belajar ilmu waris ini adalah fardhu kifayah bukan fardu ain, tetapi bukan berarti kita enggan untuk mempelajarinya dengan alasan toh sudah ada ustadz atau pengadilan agama yang akan menyelesaikan nantinya.

Sebab, fakta di lapangan menunjukkan keawaman muslim dalam ilmu faraidh ini sering kali menimbulkan masalah terutama dalam keluarga. Karena ketidaktahuan terhadap hukum waris ini terkadang ada sebagian anggota keluarga yang merasa berhak atas warisan padahal dia tidak termasuk ahli waris. Atau orang tua yang berwasiat tetapi wasiatnya keliru karena kejahilannya tentang hukum wasiat.

Oleh karenanya kita harus mengusahakan semua anggota keluarga kita paham tentang hukum waris ini atau minimal punya kesadaran yang sama terhadap kewajiban menjalankan aturan Islam dalam bagi waris.

Ketika semua anggota keluarga punya pemahaman dan kesadaran yang sama, diharapkan tidak akan terjadi konflik atau sengketa pada saat ada yang meninggal yang disebabkan sebagian anggota keluarga tidak paham hukum waris yang sesuai syariah.

3.   Mencegah Perpecahan di Antara Keluarga

Allah SWT. tidak menyerahkan hak membagi waris pada siap pun baik itu almarhum sebelum wafat, kakak tertua, atau berdasarkan musyawarah mufakat, hikmahnya adalah untuk mencegah perpecahan di antara keluarga. Sebab jika Allah tidak mengaturnya secara langsung akan sangat mungkin terjadi perselisihan sebab setiap orang dalam satu keluarga bisa punya pemahaman dan kecenderungan yang berbeda-beda sehingga tidak ada titik temu dalam mengatur pembagiannya.

Al-Quran mengisyaratkan hal ini dalam al-Quran surah an-Nisa ayat 11:

ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa: 11)

4.   Memiliki Kedudukan Tinggi dalam Syariat Islam

Ilmu waris atau ilmu faraidh punya kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Dalam sebuah hadits, Nabi menyebutkan bahwa ilmu faraidh merupakan bagian dari tiga ilmu utama dalam agama. Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ

“Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat muhkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah yang tegak, dan faraid yang adil.” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Dalam hadits yang lain Nabi menyebut bahwa ilmu faraidh adalah separuh ilmu agama. Ini menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh sehingga bobotnya setara dengan separuh ilmu. Penafsiran lain menyebutkan maksud setengah ilmu adalah bahwa ilmu-ilmu lain terkait dengan manusia saat masih hidup, sedangkan ilmu faraidh berkaitan dengan manusia setelah wafat.

Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي

“Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah)

Dalam hadits di atas, selain menyebutkan ilmu faraidh sebagai setengah ilmu, nabi juga mengatakan bahwa ia akan menjadi ilmu yang langka di antara umat Islam dan menjadi ilmu yang pertama kali dicabut dari umatnya.

Dengan terus mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh ini kita berharap mudah-mudahan masa yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits di atas belum terjadi di masa kita sekarang ini, meskipun tanda-tandanya sudah dekat.

Umar bin Khattab pernah memerintahkan umat Islam untuk mempelajari ilmu faraidh sama seperti mempelajari al-Quran. Artinya keduanya memiliki kedudukan yang sejajar dan setara tidak boleh dibeda-bedakan. Sebab Al-Quran Allah turunkan bukan hanya untuk dibaca tetapi juga dipahami dan diamalkan. Salah satu isi kandungan Al-Quran yang wajib diamalkan dan sudah tertera jelas di dalamnya adalah hukum waris.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ القُرْآنَ.

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, “Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran”. (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim).

5.   Anjuran Shahabat dan Para Ulama

Selain poin-poin di atas, kutipan-kutipan dari para salafus shalih berikut juga menunjukkan pentingnya mempelajari ilmu waris bagi seorang muslim.

Umar bin Khattab r.a:

تَعَلَّمُوا ‏ ‏الْفَرَائِضَ ‏ ‏فَإِنَّهَا مِنْ دِينِكُمْ[]

“Pelajarilah ilmu faraidh karena ia bagian dari agama kalian!”

إِذَا لَهَوْتُمْ فَالْهَوْا بِالرِّمْيِ، ‌وَإِذَا ‌تَحَدَّثْتُمْ ‌فَتَحَدَّثُوا ‌بِالْفَرَائِضِ[]

“Jika kalian bermain, bermainlah memanah dan jika kalian berbincang, berbincanglah tentang faraidh.!”

Abdullah bin Mas’ud r.a.:

علموا القرآن والفرائض فانه يوشك أن يفتقر الناس إلى علم من يعلمها[]

Ajarkanlah al-Quran dan faraidh sebab hampir saja orang-orang tidak lagi mengenal ilmu itu jika tidak diajarkan.

Abu Musa al-Asy’ari r.a.:

مثل الذي يقرأ القرآن ولا يحسن الفرائض كمثل لابس برنس ولا رأس له[

“Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran tapi tidak pandai ilmu faraidh itu seperti orang yang memakai burnus (baju luar panjang bertutup kepala) tapi tidak punya kepala.”

Imam Malik bin Anas:

 لا يكون الرجل عالما مفتيا حتى يحكم الفرائض والنكاح والأيمان[

“Seseorang tidak bisa menjadi ulama dan mufti sampai dia dapat memutuskan masalah faraidh, nikah dan sumpah.”