Oleh : Ahmad Falhan
Ada empat golongan manusia yang Allah SWT. terima taubat dan permohonan ampunan mereka, pertama, adalah orang-orang yang bertaubat kepada Allah SWT., kedua, orang-orang yang beriman, ketiga. Orang-orang yang beramal sholeh, keempat. Orang-orang yang selalu dalam jalan hidayah dan kebenaran. Secara gamblang Allah SWT. telah sebutkan empat golongan tersebut di dalam surat Thoha ayat 82,
وَإِنِّي لَغَفَّارٞ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar(Q.S. Thoha: 82)
Dalam kaedah bahasa Arab, lafaz wa inni dalam ayat di atas menunjukkan bentuk taukid atau penekanan, bahwasanya Allah SWT. benar-benar maha pengampun terhadap empat golongan tersebut. Bahkan setelah itu Allah SWT. juga menambahkan dua taukid sekaligus, huruf la dan kata ghoffar (maha Pengampun) dalam bentuk mubalaghah, yang secara simantik berarti tidak ada yang lebih pengampun dari Allah SWT.. Biasanya di dalam kajian bahasa Arab (ilmu al-ma’ani), pembubuhan tiga taukid atau penekanan digunakan untuk menepis perkataan orang yang mengingkari. Esensi dari i’jaz bahasa ini memberikan pesan kepada umat manusia, agar selalu bertaubat kepada Allah SWT., dalam setiap tarikan nafasnya, karena Allah maha luas ampunanNya, melampaui dosa-dosa manusia yang sangat banyak, seperti jumlah pasir di tepian pantai. Bahkan jika dosa manusia itu menumpuk sampai ke atas langit dan dia terus bertaubat, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits qudsi,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً .
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , beliau berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai, anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikit pun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi’.”(HR. Tirmidzi).
Dari pemaparan hadits di atas dapat difahami, bahwa sebenarnya manusia diampuni dosanya dan dimasukan ke dalam surga, lantaran karena rahmat Allah SWT.. Dosa manusia yang begitu banyak dan amal yang sedikit, tidak cukup untuk memasukkan mereka ke dalam surga, namun karena kasih sayang Allah SWT yang sangat luas, dosa-dosa mereka dapat diampuni. Bahkan di setiap sepertiga malam Allah SWT turun ke langit bumi, mendengarkan setiap permohonan hamba-hambaNya dan mengabulkan setiap doa-doa mereka. Tentunya ketika seorang hamba berdoa kepada Allah SWT harus dengan penuh keyakinan, bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT.. Doa-doa tersebut ada yang Allah kabulkan secara langsung, adapula yang ditangguhkan sesuai dengan kehendak Allah SWT., yang maha mengtahui perkara hambaNya, ada pula yang dijauhkan dari musibah sebanding dengan apa yang diminta.
Tidak ada usaha yang sia-sia, semuanya bernilai tinggi di sisi Allah SWT.. Tugas manusia hanya berikhtiar dengan ikhlas dan berperasangka baik kepada setiap ketetapan Allah. Ada beberapa waktu yang mustajab untuk kita berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT., di antaranya adalah sepertiga malam,sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
” ينزل رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ : مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ” (رواه البخاري ومسلم)
“Tuhan kita Tabaaraka wa ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, siapa yang minta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.”(HR. Bukhari Muslim)
Setelah manusia banyak bertaubat kepada Allah SWT., langkah selanjutnya adalah beriman dan beramal shaleh. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Iman dan amal shaleh harus dilakukan secara bersamaan, tanpa menjadikan salah satu diantara keduanya parsial. Maka dari itulah ada sekitar enam puluh kali Allah menggandengkan kata iman dan amal shaleh. Rasanya iman tanpa amal shaleh bagaikan pohon yang tidak memiliki buah. Iman itu menghujam ke dalam jiwa lalu diwujudkan dengan perkataan dan perbutan. Tidak tanggung-tanggung balasannya adalah surga yang paling tinggi derajatnya (baca: Surga Firdaus) dan pahala yang tidak putus. Allah SWT. berfirman di dalam al-Quran:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka) menurut ilmu Allah (adalah surga Firdaus) yaitu bagian tengah dan bagian teratas daripada surga. Idhafah di sini memberikan pengertian Bayan atau menjelaskan (menjadi tempat tinggal) tempat menetap mereka(Q.S. al-Kahfi:107)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S.Fusshilat: 8)
Dalam beramal shaleh haruslah didukung oleh ilmu dan pengetahuan tentang agama, agar apa yang diperbuat lebih bermakna disisi Allah SWT.. Orang berilmu dan berpengetahuan akan selalu mendapatkan derajat yang tinggi, selagi ia tidak merendahkan dirinya sendiri. Misalnya saja menggunakan ilmunya untuk melakukan kerusakan di atas muka bumi ini. Begitu pula seorang ulama bisa menjadi hina, jika menggunakan ilmunya untuk kesenangan pribadi atau kelompok bahkan menjadi alat kekuasaan.
Ada banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang kemulian para ulama, diantaranya adalah:
Dalam surat al-Mujadilah ayat 11. Allah Ta’ala berfirman :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (Q.S. al Mujadilah : 11).
Allah SWT. akan mengangkat derajat orang yang berilmu, atau dalam ungkapan yang lain di dalam al-Quran adalah Ulul al-Bab (orang-orang yang berfikir). Mereka adalah orang yang memiliki keistimewaan di sisi Allah SWT. dan mendapatkan kebaikan yang banyak. Oleh karena itu Islam memerintahkan pemeluknya untuk menuntut ilmu dan menjadikannya sebagai kewajiban bagi setiap individu. Tujuannya tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan, namun agar dapat lebih mengenal Allah SWT. melalui segala hal yang telah diciptakan. Mengintegrasikan ilmu pengetahuan, spiritual dan moral adalah tujuan hakiki seseorang yang menuntut ilmu. Maka seharusnya semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tinggi pula iman dan akhlaknya, bukan malah sebaliknya.
Setelah mendapatkankan ilmu pengetahuan, Allah memerintahkan kita untuk berbuat sebanyak-banyaknya kebaikan. Iman dan amal sholeh yang dilandasi oleh ilmu akan mengkapitalisasi kekuatan besar di dalam kehidupan ini dan akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia. Ada perasaan khawatir dan takut di dalam jiwa, untuk berbuat kerusakan atau tidak menjalankan amanah sebagai khalifatullah dengan sebaik-baiknya. Orang yang beriman dan beramal sholeh akan menjadi semakin kokoh untuk terus berjuang di jalan Allah SWT., baik dengan harta benda ataupun jiwa mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT., sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 20,
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.( Q.S. at-Taubah:20)
Kelompok terakhir dari orang-orang yang diampuni dosa mereka adalah mereka yang selalu istiqomah berada di jalan kebenaran. Hati mereka tidak goyah oleh kenikmatan duniawi yang fana. Maka tepat apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW., ketika ada seorang sahabat meminta petuah kepada beliau suatu ungkapan agar tidak bertanya lagi kepada siapapun, Rasul lalu berkata kepada sahabat tersebut,” Katakanlah aku telah beriman kepada Alllah SWT., kemudian istiqamahlah.
Kenapa Rasulullah begitu antusias untuk menyampaikan pesan tersebut? Tentunya sebagai pelajaran berharga bagi umat manusia, bahwa setelah beriman kepada Allah SWT., kita harus terus merawat keimanan tersebut. Bukan malah menukarnya dengan harta ataupun jabatan yang fana dan tidak sama sekali kekal. Istiqomah dalam beriman dan beramal sholeh adalah kunci kesuksesan yang mutlak harus dimiliki, walaupun susah dan berat, seorang hamba harus dapat menkondisikan dirinya untuk tetap konsisten dan istiqomah. Secara bahasa istiqomah diambil dari kosa kata bahasa Arab استقام-يستقيم – استقامة yang bermakna konsisten dalam melakukan kebaikan dan kebenaran. Ada banyak ayat yang menyebutkan kata istiqamah dan begitupula drivasi atau perubahan-perubahannya, diantarnya adalah di dalam surat al-Fatihah yang selalu kita baca di dalam shalat Allah SWT. berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus
Menurut para ulama diantaranya Ibnu Taymiyyah di dalam kitab Muqaddimah fii Ushul al-Tafsir, lafaz al-Shirath al-Mustaqim di dalam ayat ini, memiliki arti al-Quran dan al-Islam, ada pula yang memaknainya sebagai al-sunnah waljamaah, jalan untuk beribadah, dan ketaatan kepada Allah SWT dan rasulnya. Menurut Ibnu Taymiyyah semua arti tersebut hanya memiliki perbedaan yang ringan (ikhtilaf tanawwu’). Terlepas dari pemaknaan al-Shirath al-Mustaqim, yang jelas kita diperintahkan untuk selalu meminta perlindungan kepada Allah., dari awal surat yang termaktub dalam al-Quran, al-Fatihah hingga surat an-Nas, sepertinya Allah SWT. hendak mengajarkan kepada kita untuk selalu meminta perlindungan kepadaNya, agar tetap istiqamah dalam mengemban risalah dakwah yang telah diberikan kepada kita, sebagai sebaik-baiknya ummat (khaira ummah).
Tentunya jalan dakwah ini tidaklah mudah, pastilah banyak tantangan dan rintangan yang siap menghadang, bahkan tantangan yang dihadapi oleh para rasul dahulu jauh lebih susah dari apa yang kita hadapi. Pesan tersebut telah disebutkan di dalam al-Quran surat al-Muzammil, bahwa Allah akan memberikan keapada kita risalah dakwah yang harus kita pikul walaupun berat adanya,
إنَّا سَنُلْقِى عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan) atau bacaan Alquran (yang berat) yang hebat (Q.S. al-Muzzammil: 5). Menurut Jalaluddin al- Suyuthi di dalam tafsir al-Jalalain, “Dikatakan perkataan atau bacaan yang berat قَوْلًا ثَقِيلًا , mengingat kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya.
Orang-orang yang selalu berada di jalan hidayah, tidak hanya akan diampuni dosa-dosa mereka, akan tetapi Allah SWT. juga akan memberikan ketentraman jiwa kepada mereka. Malaikat-malaikat akan turun menyertai perjuangan mereka dan berkata, “Janganlah kamu takut dan jangan pula bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (wallahu a’lam bishshawab)