Amanah dan Kejujuran

Oleh: Ahmad Falhan

Di dalam sebuah pepatah Arab  disebutkan  الأَمَانَةُ كَنْزٌ kira-kira artinya adalah kejujuran adalah harta karun, yang tentunya sangat berharga sekali nilainya. Rasulullah SAW telah memberikan tauladan kepada umatnya untuk selalu menjaga amanah. Sifat Rasulullah yang selalu jujur dan amanah membuat orang-orang Arab di masa Jahiliah menjuluki beliau dengan sebutan al-amin. Beliau menjadi mutiara di tengah padang pasir yang gersang, semua mata tertuju kepada beliau yang tidak pernah berdusta dan berbohong. Apabila diberikan amanah maka beliau selalu melaksanakannya dengan penuh kejujuran.

Adalah Sayyidah Khadijah yang kaya raya tertarik kepada Rasulullah SAW, melamar beliau agar menikahinya dan menjadi pendamping hidupnhya. Hal tersebut karena akhlak mulia yang dimiliki Baginda Rasulullah SAW, diantaranya adalah sifat jujur dan amanah beliau. Ketika Orang-orang kafir Quraisy banyak yang menolak dakwah beliau, mereka tetap mengakui kejujuran Rasulullah SAW.  Salah satu buktinya adalah rasul memerintahkan Ali bin Abi Thalib RA untuk tidak segera berhijrah, kecuali setelah selesai mengembalikan semua titipan orang-oang Quraisy kepada beliau.

Pada masa tersebut, walaupun orang-orang Arab disebut dengan bangsa Jahiliyah, namun mereka sangat mengagumi kesedernaan dan kejujuran. Kita pun masih dapat mengetahui jejak-jejak kejujuran mereka melalui syair-syair yang pernah mereka tulis, seperti syair yang ditulis oleh penyair Jahiliyah terkemuka al-A’sha ) 570– 625 M.) yang berjudul al-Butulatu wal Wafa.

Di dalam syair ini al-A’sha (الأعشى)  berkisah tentang kejujuran  yang dimiliki oleh seorang penyair Jahiliyah yang bernama As-Samaw’al bin ‘Ādiyā'(wafat 560 M.), berasal dari suku Arab al-Ghasāsinah. Umruul Qais ( 500-540 M.), seorang penyair terbaik di zaman Jahilyah pernah menitipkan baju perang miliknya kepada sahabatnya As-Samaw’al bin ‘Ādiyā’tersebut, yang selalu setia menjaga benda tersebut di balik benteng kokoh miliknya. Pada suatu ketika datang seseorang yang bernama al-Harits ibn al-Zalim (wafat 600 M.) meminta agar  As-Samaw’al menyerahkan baju besi tersebut kepadanya. Dia terus berteriak dari luar benteng menyampaikan hajat dan niatnya. Namun As-Samaw’al tidak bergeming, dia tetap tidak mau menyerahkan benda tersebut demi amanaah yang diembannya. al-Harits ibn al-Zalim berusaha untuk masuk ke dalam benteng yang kokoh tersebut, namun gagal.

Tiba-tiba dari kejauhan muncul anak As-Samaw’al yang baru saja pulang dari berburu. Melihat hal tersebut al-Harits ibn al-Zalim langsung meringkus pemuda tersebut, kemudian berteriak memberikan pilihan kepada As-Samaw’al untuk menyerahkan baju besi Umruul Qais, atau, kalau tidak, maka anaknya akan dibunuh secara kejam. Begitulah sifat orang di zaman tersebut yang tetap memilih mempertahankan kepercayaan dan kesetiaan, walaupun harus dibayar dengan nyawa. Akhirnya putra As-Samaw’al pun dibunuh dalam peristiwa tersebut. Dalam bait-bait syair yang ditulis oleh al-A’syaa itupun disebutkan bahwa As-Samaw’al berkata, “

وَقالَ: لا أشْتَرِي عاراً بمَكْرُمَة

Aku tidak akan menukar kehinaan dan penghianatan dengan kemulian dan kesetian.”

Jika masyarakat Jahiliyah dahulu sudah begitu menjunjung tinggi amanah dan kejujuran, kenapa di era yang di sebut modern ini, manusia banyak yang menjadi pendusta dan penghianat. Melegalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan harta dan kekuasaan. Manusia menjadi berutal dan lebih Jahiliyah, sementara kerusakan yang ditimbulkan sangat luas bagi umat manusia. Sebut saja korupsi, kolusi dan nepotisme yang banyak merampas hak-hak orang lain.

Di dalam hadisnya Rasulullah telah bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا(متفق عليه)

Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”(Muttafaqun alaih)

Berdusta dan tidak amanah adalah sifat yang membawa manusia kepada kejahatan dan kehancuran, maka tepat apa yang pernah disebutkan di dalam sebuah pepatah,

رَأْسُ الذُّنُوْبِ الكَذِبُ

  Pokok dosa itu, adalah kebohongan     

Banyak sekali kejahatan yang terjadi akibat kebohongan, sementara syahwat dan nafsu terus menguasai diri manusia, jika tidak dapat mengendalikannya. Manusia bisa terjerumus ke dalam jurang kenistaan akibat dusta dan tidak dapat mengemban amanah dengan baik. Orang yang berdusta pastilah akan terus takut jikalau kebohongannya terungkap dan terbongkar. Untuk menghindari hal tersebut dia rela melakukan segala macam cara, walaupun berbuat kejahatan.

Mengemban amanah bukanlah pekerjaan yang mudah, banyak sekali godaan yang datang silih berganti. Semua manusia diperintahkan untuk melakukannya, tidak terkecuali. Bahkan di dalam hadis, Rasulullah menyebutkan, “Bahwa salah satu golongan yang akan mendapatkan perlindungan di hari pembalasan nanti adalah imam yang adil”. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang selalu bersikap adil dalam penegakan hokum dan amanah dalam memimpin rakyatnya, seperti apa yang telah dilakukan oleh Sayyiduna Umar bin Khattab RA. Adalah anak beliau Abdurrahman yang telah dihukum oleh A’mr ibn al-Ash RA karena secara tidak sengaja telah meminum anggur yang telah terfregmentasi. Namun Sayyiduna Umar tetap menegur Amr bin al-Ash, karena tidak memberikan sangsi kepada Abdurrahman di depan khalayak umum, agar semua orang dapat mengambil ibrah dan pelajaran, untuk tidak melanggar hukum Allah SWT..

Umar bin al-Khattab tidak pernah pilih kasih dalam menegakkan hukum Allah, sehingga beliau dijuluki dengan sebutan al-Faruq, orang yang selalu konsisten dalam membedakan antara kebanaran dan  kebathilan. Sahabat Rasulullah yang jujur dan pemberani ini, ketika hendak hijrah ke Madinah, beliau secara terang-terangan mengumumkan hijrahnya, seraya  berkata, barang siapa yang hendak menghalanginya maka beliau tunggu di balik sebuah lembah di Mekkah.

Sifat adil beliau pernah terekam dalam sejarah, tidak hanya di siang hari, pernah suatu ketika beliua sendiri berkeliling di malam hari yang dingin, memeriksa keadaan rakyatnya. Tiba-tiba dari salah satu sudut jalan beliau melihat api, maka beliaupun bergegas pergi ke tempat tersebut. Setelah dekat, Sayyidina Umar melihat seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di dalam sebuah panci, sementara anak-anaknya duduk sambil menangis di dekatnya. Kemudian Sayyiduna Umar mengucapkan salam kepada perempuan tersebut dan menanyakan perihal anak-anaknya yang menagis. Sang ibu tersebut mengatakan kepada Sayyiduna Umar bahwa anak-anaknya dalam keadaan lapar. Kemudian Umar bertanya tentang dandang yang berada di atas tungku api. Wanita tersebut mengatakan, bahwa di dalamnya adalah air yang mendidih dan berharap agar setelah mendengar bunyi air tersebut anak-anaknya dapat tertidur karena menyangka ibunya sedang memasak makanan untuk mereka. Alangkah terkejutnya Umar mendengar penuturan sang ibu, beliau langsung pergi ke Bait al-Daqiq (tempat penyimpanan gandum milik negara) lalu mengsmbil secukupnya gandum dan minyak. Sesampainya kembali di tempat tersebut, Umar langsung membuka dandang dan menuangkan gandum dan juga minyak. Umar mulai mengaduk bahan makanan itu, setelah matang beliau pun menuangkannya ke dalam mangkuk dan meminta sang ibu memberikannya kepada anak-anaknya.

Anak-anak tersebut makan dengan lahap, sehingga mereka tertawa riang gembira kemudian tertidur. Sang ibu tersebut berterima kasih kepada Sayyiduna Umar. Beliau pun meninggalkan mereka tanpa mengetahui bahwa yang baru saja menolong mereka adalah amirul mukminin Umar Ibn al-Khtatab.

Tidak semua orang dapat menghadirkan kejujuran dan keadilan dalam kehidupan nyata, tidak hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam perbuatan. Maka sungguh mulia jika kita dapat mencontoh  akhlak Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.          

Wallahu a’lam