Tadabbur Kisah Imam Bukhori

Oleh : Irfa Afrini

Imam Bukhori, Kalau teman teman pernah membaca kitab atau belajar ulumul hadits, pasti sering dengar nama ini, beliau mengumpulkan dari beberapa periwayat, ini maksudnya menerima dari gurunya atau orang yang dia dengar, yang di mana jarak antara Imam Bukhari dengan Rasulullah 5 silsilah generasi .

Imam Bukhari berasal dari Bukhara Uzbekistan tetangga Rusia, berasal dari keluarga yang taat  beliau terlahir dengan keadaan normal tapi usia 7 tahun terkena penyakit yang akhirnya qodarullah menyebabkan beliau buta, tapi sang ibu yang cerdas tidak berputus asa dia menyampaikan kepada Bukhori kecil bahwa Allah tidak akan mengambil sesuatu kecuali menggantinya dengan hal lain.  Dicabut penglihatan maka yakinlah akan ada hal lain yang Allah berikan kepadanya. 

Benar saja, tanpa melihat pendengaran lebih bagus, sehingga Imam Bukhori kecil melatih diri untuk mengasah pendengarannya sampai tidak pernah terlewat apa yang pernah beliau dengar, terus diingat apapun yang disampaikan kepadanya.

Sang ibu pun terus kuatkan hati sang anak Imam Bukhari dengan melatih Imam Bukhari selalu mandiri. Namun di setiap malam sang ibu selalu berdoa dia adukan kesedihannya, Doanya setiap malam menguatkan hati, iman dan niat.

Seorang ibu yang tidak pernah insecure ,selalu taubat dan husnudzon kepada Allah, urusannya bukan dengan manusia tapi dengan Allah. Qadarullah wa maa syaafa’ala, maka  alhamdulillah usia 12 tahun penglihatan Imam Bukhori kembali lagi. Sujud syukur yang dalam dari sang ibu.

Suatu ketika di usia 16 tahunan Imam Bukhari dengan ibu dan saudaranya pergi ke Makkah untuk menunaikan haji setelah haji disaat keluarga ingin balik ke negerinya. Imam Bukhari memutuskan untuk mukim di Makkah. dia ingin belajar bersama para ulama masyaikh disana . Maka sang ibu dengan ridho meninggalkan Imam Bukhori di Makkah.

Setelah itu Imam Bukhari mendatangi berbagai syaikh yang ada disana ketika itu, Sampai akhirnya beliau bertemu dengan  syaikh yang  memberitahukan karena tugas Imam Bukhori bukan untuk bermukim , perintahnya  kumpulkan hadits hadits Nabi shalallahu alaihi wassalam  karena pendengaranmu sudah terlatih dalam mendengar yang mana nanti hadits hadits yang dikumpulkan tersebut akan menjadi kitab penting bagi umat Islam setelah Alquran. 

Maka Imam Bukhori mulai menjalankan pengumpulan hadits, Ia berguru kepada 1.080 ulama, mulai tabi’ut tabi’in hingga ulama yang seusia dengannya. Dari mereka semua, Al Bukhari hafal ratusan ribu hadits. Sebagaimana kita tahu, hadits shahih dengan syarat Bukhari memang paling ketat dibandingkan dengan hadits shahih syarat ulama lainnya. Akhirnya terbitlah karya monumental Jami’ Ash Shahih yang memuat 7.275 hadits shahih.

Begitu banyak pujian kepada Al Bukhari. Cukuplah pernyataan Ibnu Khuzaimah merangkumnya. “Tidak ada manusia di bawah langit ini yang lebih mengetahui hadits daripada Al Bukhari.” Keilmuan Al Bukhari juga terlihat dari betapa banyak muridnya yang menjadi ulama. Murid Al Bukhari berjumlah 90.000 orang. Di antaranya adalah Imamam Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i, Ad Darimi, Ibnu Khuzaimah serta banyak ulama besar lainnya.

****

Minat dan bakat dalam alquran, Surah Al-Isra ayat 84

كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.”Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”

Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar ,memaknai ayat ini dengan potensi manusia bekerja menurut bakatnya masing masing.  Lafadz syakilatihi diartikan dengan bawaan atau bakat. Menurut Hamka, setiap orang dilahirkan bersama dengan pembawaanya, bahkan sudah ditentukan sejak dalam rahim. Pembawaan tersebut bermacam-macam seperti dalam hal warna kulit, rupa, ataupun perangai. 

Hal tersebut mengindikasikan seseorang tidak serupa dengan yang lain. Setiap manusia membuat shakila-nya masing-masing. Syakilah tersebut di antaranya dibentuk dengan daerah tempat ia dilahirkan, pergaulan di waktu kecil, lingkungan orang tua, pendidikan, pengalaman, perantauan, maupun perlawatan. Semua hal tersebut membentuk jiwa setiap manusia.

Menurut Hamka, melalui ayat ini Allah memerintahkan manusia bekerja sesuai dengan bakat (bawaan) nya masing-masing. Sebab itu, sudah seharusnya manusia mengenal siapa dirinya dan memaksimalkan potensi di dalam dirinya. Dengan demikian, siapapun bisa mencapai amal kebaikan di hadapan Allah dengan potensinya masing-masing.

 Oleh sebab itu dalam rangka mengenal diri sendiri menjadi syarat mutlak dalam mendekati Allah swt. Sementara itu, mufasir lain seperti al-Qurthubi memaknai lafad syakilatihi dengan ‘keadaan’. Menurutnya, tiap-tiap orang berbuat atas keadaanya masing-masing.

 Qurthubi dalam kitabnya, al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Tafsir Al-Qurthubi), juga menghimpun beberapa pendapat mufasir lain terkait makna syakilatihi. Di antaranya Mujahid “Menurut tabi’at dan kemampuannya”, al-Farra’, “sesuai dengan cara dan jalan yang telah diciptakan sebagai bawaan dirinya”. Ada juga yang berpendapat, “Katakanlah, masing-masing tetap mengerjakan apa-apa yang sulit baginya dengan cara yang dia yakini paling tepat baginya”, “Engkau tidak seperti bentukku dan tidak pula seperti keadaanku” Setiap orang sesuai dengan pekerjaanya, seseorang tidak melakukkan selain keahliannya.

Berdasar pada berbagai penjelasan di atas, setidaknya memberikan penjelasan kepada kita bahwa potensi diri setiap orang itu berbeda-beda, jadi sepantasnya kita tidak merasa insecure perihal potensi diri. Kita harus menyadari bahwa Allah menghendaki setiap orang berbeda dan memiliki potensi yang berbeda pula.

Setiap orang, dari pada mengeluh atau sangat senang ketika keadaan sangat baik dan tertekan apabila keadaan buruk, kenyataanya adalah setiap orang memiliki jatah keadaan baik dan buruk. Kita semua perlu melewati semua itu sesuai dengan syakilah masing-masing. Hal tersebut juga berkolerasi dengan bagaimana hubungan kita dengan menjalankan perintah Allah, karena Allah mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (ujung ayat 84).

Setiap manusia mempunyai kapasitas yang berbeda-beda untuk beribadah dan menjalankan semua perintah Allah sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Sebagaimana menurut Hamka di awal, yang perlu kita lakukan adalah mengenal diri sendiri dan memaksimalkan potensi yang ada. Dan yang paling penting adalah bagaimana potensi yang kita miliki menjadi sebuah amal kebaikan yang bisa memberikan kemanfaatan buat diri sendiri dan orang lain. Sehingga pada akhirnya diharapkan kita bisa merubah  sikap insecure menjadi secure. Wallahu’alam

 Allahumma Sholi Ala Sayyidina Muhammad