Oleh : Ahmad Falhan
Di saat manusia menghadapi berbagai macam kejadian di muka bumi ini, tentu banyak ekspresi yang akan dilakukan. Islam telah memberikan banyak tuntunan kepada kita dalam berekspresi. Ketika kita mendapatkan kenikmatan, maka Allah SWT meminta kita untuk bersyukur kepadaNya dengan mengucapkan
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam
Ucapan yang mengandung pujian dan juga ketundukan kita kepada Allah SWT. Seraya bersaksi bahwa nikmat dan karunia itu tidak datang kecuali dari Allah SWT. Pada kondisi yang lain, di saat kita mendapatkan cobaan dan musibah, maka kita diperintahkan untuk mengucapkan kalimat istirja’
إنا لله وإنا إليه راجعون
Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan dikembalikan kepadaNya.
Pesan yang diberikan dari ungkapan qurani ini adalah bentuk tawakal dan kepasrahan kita kepada Allah SWT. Seakan-akan Dia ingin mengatakan kepada manusia untuk tidak berkeluh kesah terhadap apa yang terjadi, semuanya adalah atas kehendakNya. Kita pun harus selalu ridha dalam melepas karunia Allah SWT, sebagaimana kita pun ridha dalam menerimanya.
Begitu pula ketika kita melihat berbagai macam bentuk ciptaan Allah, seyogyanya juga kita mengucapkan kalimat Thayyibah “MasyaAllah”. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran, surat al-kahfi ayat 39,
وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasya Allah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
Apa yang disebutkan tadi adalah ekspresi yang diungkapkan dengan lisan dan tulisan. Ada Pula ekspresi yang diungkapkan dengan perbuatan, seperti bershadaqah di jalan Allah, sebagai wujud syukur atas nikmat yang sangat banyak yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Bershadaqah tentu dapat diwujudkan dengan harta benda, tenaga atau pikiran dan juga kebaikan-kebaikan yang lain.
Ekspresi perbuatan yang terbaik adalah yang dapat bermanfaat bagi orang lain di sekitar kita.
Pada hakikatnya manusia selalu membutuhkan ekspresi dalam mengungkapkan suasana batinnya. Dengan demikian seluruh saraf dan motoriknya dapat bekerja dengan baik, karena sudah dapat menjalankan tugasnya.
Terkadang manusia salah dalam menyalurkan ekspresi yang membuncah di bawah alam sadarnya, sehingga fakta dan realita yang terjadi tidak selaras dengan apa yang diharapkan. Misalnya saja, ketika mau memasuki bulan Ramadhan ini, banyak orang yang menyiapkan petasan ataupun benda-benda yang dapat mengeluarkan suara dan letupan. Ada yang menggunakan pipa, bambu atau kertas yang dibentuk seperti pipa, lalu dimasukkan bahan untuk diletupkan. Tindakan ini sejatinya dapat mengganggu ketenangan banyak orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Masih banyak ekspresi yang dapat dilakukan, tanpa harus mengganggu kenyamanan orang lain. Di Mesir misalnya, ketika mau memasuki bulan ramadhan, masyarakatnya menghiasi perkampungan dan jalan-jalan mereka dengan berbagai macam lampu hias yang berwarna-warni. Menambah kemeriahan di bulan yang suci itu.
Manusia selalu ingin berekspresi, tidak terlupakan pula di masa yang lalu, tepatnya di masa kejayaan Bani Umayah di andalusia. Seorang ilmuwan muslim yang bernama Ibnu Firnas (810-887 M) pernah terbang bersama sayap buatannya dari atas Bukit di Cordoba, Andalusia (baca: Spanyol), seperti yang kita kenal saat ini dengan sebutan paralayang. Namun sayap itu terbuat dari bambu dan berlapis kain sutra. Tampak seperti kerangka pesawat. Beliau melakukan hal tersebut untuk mengekspresikan hasil penemuannya. Sebuah ide dan konsep besar yang di kemudian hari menginspirasi para ilmuwan modern di awal abad dua puluh, dalam melakukan pembuatan pesawat.
Seperti halnya pula yang dilakukan oleh Hayy bin Yaqzan, tokoh fiksi dalam buku filsafatnya Ibnu Thufail al-Andalusi (1105–1185 M) yang berjudul Hayy bin Yaqzan. Yaitu kegelisahan terhadap jati dirinya, diungkapkan dengan membuat sayap burung berukuran besar, ataupun menirukan gerakan hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Namun ia tetap merasakan bahwa ia bukanlah makhluk dari golongan mereka. Sebuah ekspresi dalam mencari jati dirinya dan juga Tuhannya. Karena dalam cerita tersebut Hayy bin Yaqzan diasuh sejak kecil oleh seekor kijang yang menemukannya terdampar di tepi pantai.
Seorang penyair besar di era zaman Jahiliyah al-Shanfari (W. 525 M), bertutur dalam syairnya Lamiyatu Arab, mengekspresikan dan meluapkan kekecewaannya terhadap kaumnya yang telah meninggalkannya terlunta-lunta menjadi budak belian. Yaitu dengan memilih kawan-kawannya yang baru dari golongan hewan buas padang pasir. Ia menemukan rasa kesetiakawanan dan persahabatan yang ada pada mereka, tidak seperti kaumnya yang dengan mudah telah mencampakkannya sejak dari masa kecil.
Ada banyak ekspresi manusia yang pernah terjadi di atas muka bumi ini, semuanya memiliki sejarahnya masing-masing. Tinggal bagaimana manusia mempertimbangkan kelayakan dan kebaikan apa yang dia lakukan, karena manusia telah Allah SWT berikan akal untuk berfikir dan mencerna segala sesuatu yang ia lihat, dengar dan rasakan. Seorang penyair misalnya, dengan apik dapat menyelami lautan perasaannya dari berbagai lintas zaman dan waktu. Maka tidak heran jika pernah ada bait-bait terindah yang dibacakan di pasar-pasar syair di zaman Jahiliyah (Ukaz, Majinnah, Zul Majaz), kemudian ditempelkan di dinding ka’bah. Mengisyaratkan keampuhan dan keindahan kata-kata mereka yang tidak ada bandingnya, bahkan dapat menembus ribuan hati dan kepala manusia. Isyarat yang menandakan tidak lama lagi akan turun kalam yang agung dan mulia “al-Quranul Karim”. Yang telah menundukkan semua ucapan para penyair dan pujangga, tidak terkecuali Umru’ Al Qais (497-545 M) yang pernah mengatakan dalam syairnya, sampai kini pun kita masih mengingat dan membacanya,
قِفا نَبكِ مِن ذِكرى حَبيبٍ وَمَنزِلِ بِسِقطِ اللِوى بَينَ الدَخولِ فَحَومَلِ
Berhentilah sejenak, mari menangis, mengenang rumah dan orang-orang tercinta di Siqtil Liwa yang membentang antara bukit Dakhul dan Haumal
wallahu a’lam bishawab