Catatan Bercermin 5 (Menguak Takdir)

Oleh Ahmad Falhan

Di musim gugur,  bulan Oktober tahun 2000 M, waktu itu adalah masa pendaftaran masuk di universitas al-Azhar Kairo Mesir. Banyak calon mahasiswa yang berdatangan ke sebuah gedung yang dikenal oleh mereka dengan sebutan gedung muraqib. Mereka semua sedang melakukan proses pendaftaran masuk universitas,  memilih fakultas dan jurusan yang mereka minati. Para petugas sangat teliti memeriksa setiap berkas yang masuk ke meja pendaftaran. Sudah satu minggu saya bolak-balik mengikuti proses pendaftaran, namun rupanya berkas saya mereka tolak dengan alasan nama yang tertera di paspor memiliki sedikit perbedaan dengan yang ada di ijazah. Maklumlah orang Mesir sangat ambigu dan kaku dalam menyikapi masalah nama. Kekurangan satu huruf atau tidak sesuai ejaan bisa  berakibat fatal. Oleh karena itu saya pergi ke kedutaan Republik Indonesia untuk Mesir,  mencoba untuk mengamandemen nama saya yang  tertulis di paspor. Namun sayang berkas saya tetap ditolak oleh mereka, sementara masa pendaftaran sebentar lagi akan ditutup. Betapa sedihnya saya saat itu, karena belum bisa melakukan pendaftaran masuk kuliah, sementara teman-teman yang lain banyak yang sudah mendaftar, tinggal menunggu pengumuman penentuan jurusan.  

Saya tidak putus asa saat itu, bahkan meminta panitia pendaftaraan yang merupakan para senior untuk mendaftarkan berkas saya, walaupun hasilnya nihil. Barulah pada hari terakhir pendaftaran berkas saya mereka terima, entah karena mereka kasihan atau melihat kesungguhan saya, sehingga menerima bergeming. Pikiran saya pun sudah bercampur aduk dan tidak menentu selama masa pendaftaran tersebut. 

Banyak perkara di dunia ini yang ada di luar nalar kita. Kalau dikatakan salah berkomunikasi, toh, saya sudah menggunakan berbagai macam cara untuk melunakkan hati para petugas pendaftaran, bahkan dibantu oleh para panitia yang sudah berpengalaman dalam masalah ini, namun apa mau dikata, tetap saja mereka menolak. Barulah pada akhir masa pendaftaran mereka menerima berkas-berkas saya. Semuanya tentu atas kehendak Allah SWT, yang membolak balikan hati manusia. Barulah saya menyaksikan dan merasakan bahwa manusia mempunyai takdir dan nasibnya masing-masing.

Memang dari zaman dahulu kala telah terjadi perdebatan serius mengenai dua hal di atas, apakah di dunia ini ada yang namanya takdir dan nasib? Sebagaimana yang pernah ditulis oleh seorang sastrawan dan sejarawan Mesir Ahmad Amin (1886-1954 M) di dalam buku beliau Faidhul Khathir pada dekade tiga puluhan, menguak cerita perbincangan antara seorang raja dan menterinya. Sang raja tidak meyakini bahwa di dunia ini ada nasib, dia hanya berkeyakinan bahwa semua keberhasilan di dunia ini adalah hasil kerja dan usaha semata, berbeda dengan sang menteri yang meyakini adanya nasib. 

Setelah percakapan yang cukup panjang antara keduanya, maka sang mentari pun memberikan alasan yang kuat kepada sang raja agar meyakini adanya nasib, yaitu: ketika malam tiba sang menteri memerintahkan anak buahnya untuk menangkap dua orang yang pertama kali lewat di jalan umum, maka sang Mentari Pun mengurung mereka di kamar berteralis yang gelap gulita, di antara kedua orang tadi ada yang semangat dan pemberani, dan satunya lagi pemalas serta penakut.

Pemuda yang pemalas duduk meringkuk di ujung teralis kamarnya. sedangkan pemuda yang semangat memeriksa kamar sehingga mendapatkan sebuah kantong yang berisi kacang-kacangan. Dia mulai memasukan tangannya ke dalam kantong tersebut dan memakan kacang yang ada di dalamnya. Di sela-sela waktu tersebut ia merasa mengunyah biji yang keras, maka ia lemparkan biji tersebut  ke arah temannya tadi,  sebagai ejekan serta penghinaan atasnya. Keesokan harinya terlihat jelas bahwa biji yang dilemparkan ke pemuda pemalas itu adalah potongan berlian, bukan biji kacang. Beruntunglah pemuda pemalas serta pengecut itu, sedangkan pemuda yang energik dan pemberani itu hanya makan kacang-kacangan. 

Islam telah menjelaskan bahwa manusia memiliki porsi untuk berusaha dan bertawakal, sebagaimana para rasul dan nabi, mereka  tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan dan siksaan orang-orang kafir yang zalim.  sedikitpun tidak menjadi surut semangat mereka. Allah SWT berfirman dalam al-Ouran surat Ibrahim ayat 12, 

وَمَا لَنَآ أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى ٱللَّهِ وَقَدْ هَدَىٰنَا سُبُلَنَا ۚ وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَىٰ مَآ ءَاذَيْتُمُونَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُتَوَكِّلُونَ

mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah SWT, padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal, berserah diri. 

Arti dari tawakal kepada Allah adalah berserah diri kepadaNya dengan penuh keikhlasan serta bersandar kepadaNya, setelah berusaha semaksimal mungkin dan berdoa. Sangat keliru kalau kita hanya bersandar seratus persen kepada usaha yang kita lakukan, tanpa bertawakal kepada Allah SWT. Atau sebaliknya, tidak mau berusaha dan bekerja, hanya mengandalkan tawakal, seperti petani yang mengharapkan padi menguning tanpa bercocok tanam, mustahil, kan?! 

Tawakal yang sebenarnya adalah mengeluarkan seluruh daya dan usaha kita, untuk kemudian menyerahkan hasil dan nilai kepada sang Pencipta. Meyakini janji-janjiNya dan beriman kepada pertolongan-Nya, sebagaimana yang terjadi pada diri Rasulullah Saw, yang telah mempersiapkan dan melaksanakan semua rencana hijrah beliau ke Madinah, walaupun kaum musyrikin terus mencari beliau, sehingga sampai ke gua Tsur di mana beliau bersembunyi. Maka  Abu Bakar ra berkata kepada Rasulullah Saw, “jika mereka melihat ke bawah kaki mereka, niscaya mereka akan melihat kita”.  Rasulullah kemudian bersabda :

فقال : يا أبا بكر ما ظنك باثنين الله ثالثهما 

Wahai Abu Bakar, engkau tidak tahu bahwa bersama kita berdua yang ketiga adalah Allah

dan turunlah ayat yang berbunyi,

ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا

Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita”” (QS. At Taubah: 40)

Dalam peristiwa ini  kita betul-betul menyaksikan kekuasaan Allah SWT yang tidak dapat dilawan oleh siapapun . 

Di dalam Majalah al-‘Urwatul wutsqa yang terbit pada tahun 1884 M, al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (1849-1905 M) pernah menulis artikel tentang masalah takdir,  beliau membantah perkataan-perkataan orang barat yang menyamakan masalah qadha dan qadar dengan pemahaman Jabariyah yang mengatakan “bahwa manusia dipaksa dan diatur secara penuh oleh sang Pencipta dalam bekerja, lalu mereka beranggapan bahwa itulah keyakinan kepada qadha dan qadar”. 

Muhammad Abduh berkata, “bahwa manusia tidak dapat disamakan dengan bulu burung yang terbang di udara dibawa oleh angin, tak menentu arahnya. Dan sesungguhnya manusia tak dapat luput dari sunnatullah. Walaupun ada manusia yang memungkiri Tuhan, akan tetapi ia tak akan dapat memungkiri sunnatullah. Sebagai contoh, apakah ada yang dapat memungkiri sakit, mati, miskin dan lain sebagainya”. 

Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa manusia mempunyai dua cakupan daerah dalam hidup ini. Pertama, yaitu daerah usaha dan bekerja dengan sepenuh hati, niat yang ikhllas, merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabatullah) dan selalu intropeksi diri (muhasabatun nafsi). Kedua, yaitu daerah tawakal atau berserah diri secara penuh kepada Allah swt, dengan mempercayai qadha dan qodar Tuhan.  Apabila manusia telah berusaha dengan sebail-baiknya, maka pada dasarnya ada wilayah yang tidak kita ketahui, yaitu daerah takdir dan nasib. 

Wallahu a’lam.