Oleh : M Aqil Haidar
1. Pengertian Qiraah
Sebelum membahas tentang apa itu qiroah mutawatirah, hendaknya kita mengerti dulu tentang apa itu qiroah.
Qira’at secara bahasa artinya adalah bacaan. Adapun secara terminologis didefinisikan oleh Abu Syamah al-Maqdisi (w. 665 H) dalam kitabnya Ibraz al-Ma’ani sebagai:
علم بكيفية أداء كلمات القرآن الكريم واختلافها معزوا لناقله
Ilmu tentang tata-cara membaca al-Qur’an dan perbedaan-perbedaanya yang disandarkan kepada pentransmisinya.
2. Pengertian Qiro’at Mutawatirah dan Syadzah
Dalam kitabnya al-Itqan, Imam Suyuthi menyebutkan pengertian dari qira’at mutawatirah yang ia nuqil dari al-Jazari:
كل قراءة وافقت العربية ولو بوجه ووافقت أحد المصاحف العثمانية ولو احتمالا وصح سندها.
Setiap qiro’at yang sesuai dengan bahasa arab meskipun hanya dari satu sisi, dan sesuai dengan salah satu mushaf ustmani meskipun dengan ihtimal, dan sanadnya shahih.
Dari pengertian di atas, diketahui bahwa qira’at mutawatirah memiliki tiga syarat yang telah disebutkan. Dan jika salah satu dari tiga syarat tersebut hilang, maka bisa disebut dengan qira’at syadzah.
Dalam kitab al-Muhadzab karya Abdul Karim Namlah disebutkan bahwa ada tujuh qiraah yang disepakati sebagai qira’at mutawatirah. ke-tujuh qira’at yang disepakati tersebut, adalah:
- Qira’at Ibnu ‘Amir asy-Syami (w. 118 H), Abdullah bin ‘Amir al-Yahshabi asy-Syami. Adapun rawi qira’at Ibnu ‘Amir adalah Hisyam bin ‘Ammar (w. 245 H) dan Ibnu Zhakwan Abdullah bin Ahmad (w. 240 H).
- Qira’at Ibnu Katsir al-Makki (w. 120 H), Abdullah bin Katsir. Adapun rawi qira’at Ibnu Katsir adalah al-Bazzi Ahmad bin Muhammad al-Makki (w. 250 H) dan Qunbul Muhammad bin Abdurrahman al-Makki al-Makhzumi (w. 291 H).
- Qira’at ‘Ashim al-Kufi (w. 128 H), ‘Ashim bin Abi an-Najud. Adapun rawi qira’at Nafi’ adalah Syu’bah Abu Bakar Syu’bah bin Abbas al-Kufi (w. 193 H) dan Hafsh bin Sulaiman al-Bazzaz al-Kufi (w. 180 H).
- Qira’at Abu ‘Amr al-Bashri (w. 154 H), Ziyan bin al ‘Ala’ al-Mazini. Adapun rawi qira’at Abu ‘Amr adalah ad-Duuri Abu ‘Amr Hafhs bin Umar ad-Duuri (w. 246 H) dan as-Susi Abu Su’aib Shalih bin Ziyad as-Susi (w. 261 H).
- Qira’at Hamzah al-Kufi (w. 156 H), Hamzah bin Habib az-Zayyat at-Taimi. Adapun rawi qira’at Hamzah adalah Khalaf bin Hisyam al-Bazzaz (w. 229 H) dan Khallad bin Khalid ash-Shairafi (w. 220 H).
- Qira’at Nafi’ al-Madani (w. 169 H), Nafi’ bin Abdurrahman. Adapun rawi qira’at Nafi’ adalah Qalun Isa bin Minya al-Madani (w. 220 H) dan Warasy Utsman bin Said al-Mishri (w. 197 H).
- Qira’at al-Kisa’i al-Kufi (w. 189 H), Ali bin Hamzah al-Kufi. Adapun rawi qira’at al-Kisa’i adalah Abu al-Harits al-Laits bin Khalid al-Baghdadi (w. 240 H) dan Hafsh ad-Duri rawi Abu ‘Amr.
Dan ada tiga qira’at yang diperselisihkan statusnya antara mutawatir dan syazah, antara lain:
- Qira’at Abu Ja’far al-Madani (w. 128 H atau 132 H), Yazid bin al-Qa’qa’. Adapun rawinya adalah Isa Ibnu Wardan (w. 160 H) dan Ibnu Jamaz Sulaiman bin Muslim al-Madani (w. 170 H).
- Qira’at Ya’qub al-Bashri (w. 205 H), Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami. Adapun rawinya adalah Ruwais Muhammad bin al-Mutawakkil al-Bashri (w. 238 H) dan Ruh bin Abdul Mu’min al-Bashri (w. 234 H atau 235 H).
- Qira’at Khalaf (w. 229 H), Khalaf bin Hisyam al-Bazzar al-Baghdadi. Adapun rawinya adalah Ishaq bin Ibrahim al-Warraq al-Maruzi (w. 286 H) dan Idris bin Abdul Karim al-Haddad al-Baghdadi (w. 292 H)
Dan selain sepuluh diatas maka tergolong sebagai qiraat syadzah.
3. Contoh Qiroah Syadzah
Ada beberapa contoh yang disebutkan oleh Abdul Karim Namlah dalam qiraat syadzah. Diantaranya:
- Qira’at yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Hafsah pada surat al-Baqarah ayat 238:
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى صلاة العصر
Sedangkan dalam rasm ustmani :
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
- Qira’at yang diriwayatkan dari Ibn Abbas pada surat al-Baqarah ayat 198:
لا جناح عليكم أن تبتغوا فضلا من ربكم في مواسم الحج
Sedangkan dalam rasm ustmani :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
- Qira’at yang diriwayatkan dari Ibn Abbas pada surat al-Qiyamah 28:
وأيقن أنه الفراق
Sedangkan dalam rasm ustmani :
وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ
- Qira’at yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud pada surat al-Maidah 38:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيمانهما
Sedangkan dalam rasm ustmani :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
- Qira’at yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud:
فصيام ثلاثة أيام متتابعات
Sedangkan dalam rasm ustmani :
فصيام ثلاثة أيام
- Qira’at yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab pada surat al-Baqoroh 185:
فعدة من أيام أخر متتابعات
Sedangkan dalam rasm ustmani :
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
4. Qiroah Syadzah Sebagai Hujjah
Ulama berbeda pendapat tentang apakah qira’at syadzah dapat dijdaikan sebagai dalil. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama yang berbeda:
a. Qira’at syadzah bisa dijadikan dalil
Pendapat ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah, salah satu riwayat dari Imam Syafi’I dan riwayat dari Imam Ahmad.
Argumentasi mereka adalah sebagaimana disebutkan Abdul Karim Namlah:
لأن الناقل للقراءة الشاذة – وهوالصحابي – أخبر أنه سمع ذلك من النبي – صلى الله عليه وسلم – فالمنقول لا يخرج عن أمرين:أولهما: إما أن يكون قرآنا.ثانيهما: إما أن يكون خبرا عن – صلى الله عليه وسلم -.
Periwayat qiraah syadzah (seorang sahabat) ia mengatakan bahwasanya telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW. Dan yang di riwayatkan dari nabi tidak keluar dari dua kemun gkinan. Bisa jadi ia adalah quran, dan bisa juga sebuah hadist dari nabi Muhammad SAW.
فإن كان الأول – وهو كونه قرآنا – فيجب العمل به؛ لوجوب العمل بكل ما جاء في القرآن الكريم.
Jika kita ambil kemungkina pertama (sebagai Al-Quran), maka wajib diamalkan. Karena wajibnya kita mengamalkan seluruh isi Al-Quran.
وإن كان الثاني – وهو كونه خبرا عن النبي – صلى الله عليه وسلم – فيجب العمل به – أيضا – لأن خبر الواحد العدل الثقة قد اتفق العلماء على العمل
Dan jika kita anggap kemungkinan yang kedua (bahwa yang ia riwayatkan merupakan hadist nabi) maka tetap wajib untuk diamalkan. Karena riwayat satu orang yang adil dan tsiqoh harus diamalkan sesuai kesepakatan ulama.
فالمنقول – على التقديرين – يجب العمل به، وكل ما وجب العمل به فهو حجة.
Maka yang diriwayatkan ( dengan kedua kemungkinan) wajib diamalkan. Dan setiap yang wajib diamalkan maka dikatakan sebagai hujjah (dalil).
b. Qira’at syadzah tidak bisa dijadikan dalil
Pendapat ini merupakan satu riwayat imam Malik, dan masyhur dari riwayat imam asy-Syafi’i yang dishahihkan oleh al-Amidi, Ibnu al-Hajib, Ibnu as-Sam’ani, dan an-Nawawi, serta satu riwayat imam Ahmad.
Argumentasi mereka adalah bahwa qira’at syadzah tidak bisa digolongkan sebagai khabar ahad atau hadits nabi, karena perawinya hanya bermaksud meriwayatkan al-qur’an, sedang al-qur’an harus diriwayatkan secara mutawatir. Adapun qira’at syadzah tentu tidak diriwayatkan secara mutawatir. Maka atas dasar ini qira’at syadzah tidak bisa digolongkan sebagai khabar ahad ataupun al-qur’an.
5. Implikasi Perbedaan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari implikasi perbedaan pendapat ini akan diutarakan satu contoh dari implikasi perbedaan atas status legalitas qira’at syadzah. Yaitu masalah apakah puasa kaffarat atas pembatalan sumpah (kaffarah al-yamin), wajib dilakukan secara berturut-turut atau tidak?.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi dan Hanbali mewajibkannya, berdasarkan qira’at syadzah dari Ibnu Mas’ud tentang kaffarat puasa atas pembatalan sumpah.
فصيام ثلاثة أيام متتابعات
“Maka berpuasalah tiga hari secara berturut-turut.
Sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’i tidak menganggapnya wajib.
Dikarenakan mereka tidak mewajibkan mengamalkan qiroaah syadzah.